Tetapi, pada tahun 1994, musim kemarau yang berkepanjangan dan penurunan luas lahan pertanian di Jawa menyebabkan produksi beras menurun secara signifikan.
Oleh karena itu, Soeharto mengusulkan rencana kepada para menterinya pada bulan Juni 1995 untuk mengembangkan lahan pertanian yang luasnya mencapai 5,8 juta hektare di daerah rawa Kalimantan Tengah yang memiliki jumlah penduduk yang sedikit, seperti yang tercatat dalam majalah Tempo.
Pada saat tersebut, dia mengajukan permintaan agar hasil pertama dari proyek itu dapat terwujud dalam waktu dua tahun.
Setelah itu, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor Pada bulan Desember tahun 1995, telah disahkan peraturan mengenai pengembangan lahan gambut (PLG) dengan nomor 82/1995. Proyek ini dimulai pada tahun 1996 dengan cepat.
Area PLG mengecil menjadi hanya 1,46 juta hektar selama prosesnya.
Menurut informasi yang diberikan oleh Tempo, proyek ini sangat terpengaruh oleh tindakan kolusi dan korupsi, apakah itu terkait dengan pembebasan lahan, pembangunan rumah bagi transmigran, pengairan sawah, atau perluasan sistem irigasi.
Pembangunan saluran primer utama sepanjang ratusan kilometer pada saat itu justru memotong hutan gambut yang luas dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, seperti punahnya banyak satwa liar, meningkatnya risiko banjir dan kebakaran, serta pencemaran tanah dan air.
Pada bulan Maret 1997, Soleh Solahuddin, yang saat itu menjabat sebagai rektor Institut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa hanya 586. 700 hektar dari total 1,46 juta hektar lahan proyek PLG yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.