Pembacaan Putusan Perkara Charlie’s Angles, LBH KRI Soroti Tuntutan JPU yang Dinilai Belum Cerminkan Keadilan
Pihak LBH KRI saat bersama korban kekerasan seksual dan penganiayaan oleh tiga orang perempuan-Pontianak Disway-dokumen istimewa
PONTIANAKINFO.COM – Sidang dengan agenda pembacaan putusan untuk tiga perkara pidana terkait kasus pengeroyokan dan konten asusila yang menarik perhatian publik di Pontianak beberapa waktu lalu yang dikenal dengan Kasus Charlie’s Angles, telah bergulir di persidangan dengan nomor perkara 610/Pid.B/2025/PN Ptk, 611/Pid.B/2025/PN Ptk, dan 612/Pid.B/2025/PN Ptk, yang dijadwalkan pada Selasa, 11 November 2025 kemarin, resmi ditunda.
Berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Pontianak (sebagaimana terekam dalam data jadwal sidang), penundaan tersebut diputuskan oleh Majelis Hakim dengan alasan “Putusan belum siap”. Penundaan ini merupakan bagian dari proses musyawarah hakim setelah agenda pledoi (pembelaan) terdakwa dilaksanakan pada pekan sebelumnya.
Majelis Hakim telah menetapkan jadwal sidang lanjutan untuk pembacaan putusan. Perkara 612/Pid.B/2025/PN Ptk dijadwalkan ulang pada Kamis, 13 November 2025, sementara perkara 610/Pid.B/2025/PN Ptk dan 611/Pid.B/2025/PN Ptk akan dibacakan pada Jumat, 14 November 2025.
Menanggapi penundaan ini, Tim Penasihat Hukum para korban dari Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) menyatakan menghormati waktu musyawarah Majelis Hakim.
“Kami menghormati independensi Majelis Hakim yang memerlukan waktu untuk musyawarah yang cermat guna menghasilkan putusan yang adil. Penundaan ini adalah hal yang wajar dalam praktik peradilan,” ujar Maria Putri Anggraini Saragi, S.H., dari LBH KRI pada Rabu (12/11/2025).
“Namun, penundaan ini sekaligus menjadi momentum krusial bagi kami untuk kembali menegaskan keprihatinan mendalam atas proses penuntutan. Secara khusus, kami menyoroti tuntutan dari Penuntut Umum (JPU) yang kami nilai belum mencerminkan rasa keadilan dan gagal membedakan bobot kejahatan, terutama dalam konteks perlindungan korban kekerasan seksual,” lanjutnya.
LBH KRI menegaskan akan terus mengawal proses hukum ini hingga akhir dan mengajak publik serta media untuk memantau jalannya sidang pembacaan putusan agar proses peradilan dalam mencari keadilan materiel dapat berjalan secara transparan dan akuntabel.
Tiga Dakwaan Berbeda, Satu Tuntutan Sama?
Tim Penasihat Hukum LBH KRI menyoroti adanya anomali substansial dalam tuntutan yang diajukan oleh JPU pada agenda sidang 21 Oktober 2025.
Meskipun ketiga terdakwa menghadapi konstruksi dakwaan yang berbeda secara signifikan, JPU menuntut ketiganya dengan pidana penjara yang seragam, yakni 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
Untuk mempermudah pemahaman publik, berikut adalah perbandingan dakwaan dan tuntutan berdasarkan data SIPP Pengadilan Negeri Pontianak:
Tim Penasihat Hukum LBH KRI memberikan catatan beberapa catatan antara lain:
1. Pengabaian Prinsip Individualisasi Pidana dan Gradasi Kejahatan
Bahwa tuntutan yang seragam (uniform) ini secara nyata mengabaikan prinsip fundamental dalam hukum pidana, yaitu individualisasi pidana atau pertanggung jawaban yang dibebankan pada orang perorangan yang melakukan perbuatan pidana. Prinsip ini menghendaki agar hukuman didasarkan pada perbuatan, kesalahan, peran, dan dampak dari perbuatan masing-masing pelaku. Fakta yuridis menunjukkan adanya gradasi (tingkatan) kejahatan yang jelas di antara ketiga perkara:
- Perkara 612 yaitu Terdakwa didakwa atas penganiayaan (Pasal 351 KUHP).
- Perkara 611 yaitu Terdakwa tidak hanya didakwa atas Pasal 351 KUHP, tetapi juga didakwa atas delik Penadahan (Pasal 480 KUHP). Logika hukumnya, dakwaan kumulatif/alternatif dengan delik tambahan seharusnya berfungsi sebagai faktor pemberat (straafverzwarende grond); dan
- Perkara 610 yaitu Terdakwa didakwa atas Pasal 351 KUHP dan delik lex specialis yang sangat serius, yaitu Pasal 14 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Dengan menyamaratakan tuntutan menjadi 1,5 tahun untuk ketiganya, JPU secara de facto hanya menuntut delik penganiayaan (Pasal 351) dan memberikan impunitas fungsional terhadap delik Penadahan (Pasal 480) dan delik Kekerasan Seksual (Pasal 14 UU TPKS). Ini adalah praktik penuntutan yang bermasalah dan mencederai asas keadilan.
2. Tuntutan Mencederai Ratio Legis Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
Sumber:




