PONTIANAKINFO.DISWAY.ID - Debat capres dan cawapres 2024 menjadi sorotan, menampilkan wawasan calon pemimpin dalam adu argumen yang mendalam.
Pernyataan mereka tak hanya menjadi kunci dalam memengaruhi simpati masyarakat umum, tetapi juga memiliki dampak signifikan pada mahasiswa.
Survei terbaru dari Praxis, agensi public relations (PR) dan public affairs (PA), mengungkapkan bahwa 63,14% mahasiswa memiliki ketertarikan khusus pada kemampuan public speaking para calon.
Hasil survei ini, yang berjudul "Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024," menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif untuk memberikan gambaran komprehensif.
Survei kuantitatif melibatkan 1.001 mahasiswa dari 34 provinsi di Indonesia, dilakukan pada 1-8 Januari 2024.
Praxis juga bekerja sama dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM untuk riset kualitatif melalui Focus Group Discussion (FGD) pada 15 Januari 2024.
Hasil riset menunjukkan bahwa kandidat dengan latar belakang politisi mendapatkan preferensi tertinggi dari mahasiswa (20,88%), sementara figur publik/selebriti hanya meraih 0,50%.
Informasi politik mahasiswa didapatkan sebagian besar dari media massa online (66,43%), sedangkan iklan out of home (OOH) kurang relevan (21,08%).
BACA JUGA:Gibran Rakabuming Raka Dalam Sorotan Kritik dari Rocky Gerung
Dalam eksplorasi di media sosial, pernyataan kandidat (66,43%) dan kemampuan public speaking (63,14%) menjadi fokus utama mahasiswa.
Hasil ini sejalan dengan preferensi kegiatan kampanye yang paling berpengaruh, yaitu debat terbuka (69,93%).
Abdul Gaffar Karim, Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan serta koordinator EC Fisipol UGM, menyoroti pentingnya memahami aspirasi mahasiswa yang memiliki dampak strategis pada hasil pemilu.
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) usia muda mencapai 53%.
Sofyan, perwakilan Praxis, berharap hasil survei ini dapat menjadi panduan bagi kandidat untuk fokus pada visi, program kerja, dan karakter yang meyakinkan. Selain itu, analisis berdasarkan Socioeconomic Status (SES) mengungkapkan bahwa semakin tinggi SES, praktik politik uang semakin tidak efektif. Mahasiswa dari berbagai kelas menyatakan sikap berbeda terkait penerimaan uang dan pemilihan kandidat.