Bahasan menambahkan, upaya tersebut memerlukan dukungan dari pemerintah pusat melalui Komisi IX DPR RI, terutama dalam hal penambahan sumber daya manusia.
“Minimal dibutuhkan dua hingga tiga tenaga tambahan agar layanan kesehatan jiwa ini dapat ditangani secara maksimal. Apalagi, jumlah pasien dengan gangguan kejiwaan di Kota Pontianak cukup besar,” sebutnya.
Ia berharap, dengan adanya fasilitas dan tenaga kesehatan khusus, masyarakat Pontianak tidak perlu lagi dirujuk ke rumah sakit di luar kota seperti ke RSJ di Singkawang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa.
Selain itu, Bahasan juga menyoroti persoalan klaim BPJS Kesehatan yang dinilainya masih rumit.
“Kadang ada kendala dalam proses klaim yang terlalu rumit. Misalnya, tindakan medis dengan biaya sekitar Rp2 juta, tetapi klaim yang disetujui BPJS hanya sekitar Rp1 juta. Harapannya, ke depan ada solusi yang lebih adil,” imbuhnya.
Ia menyambut baik arahan Komisi IX DPR RI agar BPJS Kesehatan melakukan pendampingan langsung dan Dewan Pengawas BPJS Pusat turut memantau pelaksanaan pelayanan agar kebijakan yang diterapkan benar-benar membantu masyarakat serta rumah sakit daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur RSUD Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak, Eva Nurfarihah, menjelaskan bahwa kendala utama pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit yang dipimpinnya adalah keterbatasan ruang dan sarana khusus untuk pasien jiwa.
“Kami belum memiliki ruangan khusus untuk perawatan pasien jiwa. IGD kami masih bersifat umum, begitu pula polikliniknya. Namun, sejak Februari kami sudah memiliki dokter spesialis kejiwaan atau psikiater dan membuka poliklinik jiwa,” jelasnya.
Eva menambahkan, meski pelayanan sudah berjalan, sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Ia berharap Komisi IX DPR RI dapat membantu mengatasi persoalan tersebut.
“Kami sampaikan kepada Komisi IX bahwa kami membutuhkan dukungan untuk memperkuat fasilitas. Komisi IX juga menegaskan agar rumah sakit tidak menolak pasien gangguan jiwa, dan BPJS diminta mendampingi agar klaim pelayanan bisa dibayarkan,” ucapnya.
Sejak Februari hingga kini, RSUD SSMA mencatat sekitar 600 pasien gangguan jiwa telah berkunjung, dengan rata-rata 124 pasien per bulan. Gangguan terbanyak adalah kecemasan dan depresi, yang sejalan dengan temuan hasil skrining di puskesmas.
“Dulu, ketika belum ada psikiater, jumlah pasien gangguan jiwa hanya sekitar 32 orang per tahun. Sekarang meningkat pesat, artinya kesadaran masyarakat untuk mencari pertolongan semakin baik,” terang Eva.
Menurutnya, peningkatan kasus depresi di kalangan remaja salah satunya disebabkan oleh tekanan sosial di era digital.
“Anak-anak sekarang mudah merasa tidak percaya diri ketika unggahannya di media sosial tidak mendapat banyak respons. Faktor psikologis seperti ini turut berpengaruh,” pungkasnya. (prokopim)