Backlink
Rentcar MaC

Overworking, Fenomena Kerja Berlebihan, Kenapa Masih Jadi Pilihan?

Overworking, Fenomena Kerja Berlebihan, Kenapa Masih Jadi Pilihan?

--

PONTIANAKINFO.DISWAY.ID - Kerja berlebihan menjadi kecenderungan yang sulit dihindari dalam dunia kerja saat ini. Meskipun diketahui dapat meningkatkan risiko kecelakaan, tingkat stres, dan bahkan menyebabkan masalah fisik, banyak orang masih terjebak dalam pola kerja yang melelahkan.

BACA JUGA:Keseringan Nyeri Tangan saat WFH, Kenali Lebih Dalam Carpal Tunnel Syndrome!

Menurut Organisasi Buruh Internasional, lebih dari 400 juta pekerja di seluruh dunia bekerja 49 jam atau lebih per minggu.

Beberapa tokoh terkenal, seperti Elon Musk, bahkan merayakan ulang tahunnya dengan menghabiskan waktu di tempat kerja selama berjam-jam.

Bagi mereka, hal ini mungkin menjadi bentuk pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan di industri yang sangat kompetitif, seperti Silicon Valley.

Namun, perlakukan kelelahan sebagai lencana kehormatan menimbulkan pertanyaan tentang dampak jangka panjangnya.

Sebuah studi pada 2016 menunjukkan bahwa kadar hormon stres, kortisol, meningkat lebih cepat pada orang yang sering melakukan lembur.

Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental.

Pola kerja lembur juga merembes ke dalam budaya start-up, di mana bekerja berjam-jam bahkan di akhir pekan dianggap sebagai norma.

Sebuah contoh dari Kolombia menunjukkan bagaimana para pengusaha bangga mengerjakan proyek mereka bahkan pada malam hari dan hari Sabtu.

Namun, paradoksnya adalah bahwa budaya lembur ini cenderung kontraproduktif. Banyak bukti menunjukkan bahwa bekerja berjam-jam tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga meningkatkan risiko penyakit.

BACA JUGA:Strategi Pencegahan Penurunan Fungsi Otak pada Usia Muda

Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa pekerja dengan jadwal lembur memiliki tingkat bahaya cedera 61% lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak lembur.

Bukan hanya di sektor korporat, tetapi juga di sektor gig economy, seperti yang terjadi di Asia Tenggara dan Afrika. Para pekerja lepas di platform freelancer sering kali terjebak dalam siklus kerja berlebihan karena sistem algoritma yang mendorong mereka untuk selalu siap menerima tugas.

Sumber: