Backlink
Rentcar MaC

Tolak HGU 190 Tahun di IKN, Masyarakat Adat Gugat ke MK

Tolak HGU 190 Tahun di IKN, Masyarakat Adat Gugat ke MK

IKN Nusantara yang telah dibangun, masih belum final 100%. -@ikn_id-Instagram

PONTIANAKINFO.DISWAY.ID – Perwakilan masyarakat adat Dayak Kalimantan Timur mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Mereka meminta MK membatalkan Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai kepada investor dengan jangka waktu hingga 100 tahun.

Stepanus Febyan Babaro, pemohon dalam gugatan ini, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat adat. Menurutnya, pemberian hak dalam jangka waktu panjang lebih mengutamakan kepentingan investor daripada perlindungan hak-hak masyarakat adat.

“Bahwa tujuan memberikan kepastian investor mendapatkan konsesi tanah 190 tahun HGU dan 160 HGB semakin kuat legitimasi hukumnya bahwa kebijakan dua siklus HGU dan HGB jelas melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang telah mengatur tata cara dan jangka waktu pemberian hak atas tanah dalam membentuk HGU dan HGB,” ujar Stepanus dalam permohonannya di Gedung MK, Selasa (4/3).

Ia menambahkan, durasi hak atas tanah yang terlalu panjang berisiko mengurangi ruang bagi masyarakat adat untuk mengelola dan mempertahankan tanah leluhur mereka. Hak tersebut juga dinilai berpotensi merugikan generasi mendatang yang seharusnya berhak atas pengelolaan tanah untuk kebutuhan masa depan.

“Pemberian hak dengan jangka waktu terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang yang seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengelola dan memanfaatkan tanah sesuai dengan kebutuhan di masa depan. Tanah adalah sumber daya terbatas, oleh karena itu pengaturannya harus memperhatikan keberlanjutan untuk generasi selanjutnya,” jelas Stepanus.

Selain itu, Stepanus menyoroti potensi semakin meningkatnya mafia agraria yang dapat mengancam tanah adat di Kalimantan. Jika tidak dikendalikan, kondisi ini dapat memicu konflik baru yang merugikan masyarakat adat Dayak serta memperpanjang sejarah ketidakadilan agraria di Indonesia.

“Jika HGU diberikan pada tahun 2025 untuk jangka waktu 95 tahun, hak ini baru akan berakhir pada tahun 2120. Selama hampir satu abad, generasi mendatang tidak akan memiliki akses untuk mengelola tanah tersebut, meskipun ada kebutuhan mendesak di masa depan,” paparnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kebijakan ini juga mengancam keberadaan budaya dan identitas masyarakat adat. Dengan adanya peraturan ini, sistem hukum adat yang mengatur kepemilikan tanah secara komunal berisiko tergantikan oleh sistem hukum nasional yang lebih dominan.

“Hak-hak jangka panjang atas tanah yang diberikan tersebut berpotensi bertentangan dengan keberadaan hukum adat yang biasanya mengatur kepemilikan tanah berbasis komunitas dan kearifan lokal. Sistem hukum nasional yang lebih dominan dan dapat menggantikan dan menghapuskan sistem hukum adat yang sudah berlaku turun-menurun,” tutur Stepanus.

Penerapan Pasal 16A UU 21/2023 dinilai dapat memperburuk konflik agraria di Indonesia. Sejumlah kasus serupa telah terjadi di berbagai wilayah, di mana tanah adat diambil alih oleh perusahaan, memicu perselisihan dengan masyarakat setempat.

“Permasalahan yang rumit mengenai konflik HGU, HGB dan hak pakai sering terjadi. Beberapa konflik sebagai percontohan perusahaan yang memiliki HGU berkonflik dengan masyarakat. Ada sengketa 72 orang petani dengan PT DDP di atas lahan kisaran 400 hektare. Juga terdapat 45 petani yang berkonflik dengan PT BBS di Kabupaten Muko-Muko di atas areal sengketa 300 hektare,” tambahnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa pemberian hak jangka panjang kepada pihak tertentu dapat memutus hubungan masyarakat adat dengan tanah yang telah mereka kelola turun-temurun. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap keberlanjutan budaya serta akses terhadap sumber daya alam seperti tanah, air, dan hasil hutan.

“Misalnya, pemanfaatan hutan adat untuk perkebunan sawit selama 95 tahun dapat menghilangkan bahan baku untuk kerajinan tradisional atau ramuan obat,” terangnya.

Regulasi Tumpang Tindih

Stepanus juga menyoroti adanya tumpang tindih aturan mengenai jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai. Pasal 16A UU 21/2023 mengatur bahwa HGU dapat diberikan hingga 95 tahun, HGB hingga 80 tahun, dan Hak Pakai hingga 80 tahun. Di sisi lain, ketentuan serupa juga tercantum dalam Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN.

Sumber: