Backlink
Rentcar MaC

Viral Hina Guru, TikToker Rizky Kabah Dilaporkan PGRI Kalbar, Berikut Kronologi Lengkapnya!

Viral Hina Guru, TikToker Rizky Kabah Dilaporkan PGRI Kalbar, Berikut Kronologi Lengkapnya!

Ilustrasi Rizky Kabah saat dilaporkan oleh pihak PGRI Kalimantan Barat-Pontianak Disway-dokumen istimewa

BACA JUGA:Polisi Rilis Deretan Sejumlah Akun Influencer Endorse Judi Online di Kalbar, Ingatkan Ancaman Pidana!

Kesimpulan dan Implikasi

Kasus Iky Kabah memberikan banyak pelajaran berharga. Pertama, kasus ini menegaskan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial tidak berarti bebas konsekuensi. Kritik dan unek-unek boleh saja disuarakan, tapi ketika disampaikan secara kasar, membabi-buta, dan menyerang kehormatan pihak lain, maka siap-siap berhadapan dengan aturan hukum. Iky Kabah kini harus menghadapi konsekuensi hukum karena ucapannya dianggap melanggar pasal pencemaran nama baik dan UU ITE. Ini menjadi peringatan bagi pengguna media sosial agar lebih berhati-hati dalam berujar di ranah publik. Sekali konten diunggah dan viral, dampaknya sulit dikendalikan, dan penyesalan selalu datang terlambat.

Kedua, dari sisi pendidik dan institusi, kasus ini membuka mata bahwa kesan dan pengalaman siswa terhadap guru sangat mempengaruhi cara mereka menghargai profesi guru. Iky mungkin salah besar dengan ucapannya, tapi curhatannya tentang pengalaman dibully guru tak boleh serta-merta diabaikan. Jika investigasi internal membuktikan ada oknum guru yang pernah berbuat tidak etis pada Iky (atau siswa lain), hal itu perlu ditindaklanjuti oleh pihak sekolah dan dinas pendidikan. Dunia pendidikan harus berbenah agar tidak ada lagi “api dalam sekam” – siswa yang menyimpan dendam karena merasa dizalimi. Kekerasan oleh guru, baik verbal maupun fisik, harus benar-benar dilarang dan diawasi. Kasus Iky mengingatkan bahwa satu oknum bisa merusak citra seluruh institusi; karenanya, pembenahan perilaku oknum adalah keharusan untuk melindungi nama baik mayoritas guru yang berdedikasi.

Ketiga, kasus ini memperlihatkan bagaimana media sosial dapat memperbesar konflik generasi. Di satu sisi ada generasi muda (seperti Iky dan pengikutnya) yang lantang bersuara di internet, di sisi lain ada otoritas atau kelompok profesional (seperti PGRI dan guru senior) yang menuntut penghormatan dan bertindak melalui jalur formal. Perlu jembatan dialog antara keduanya. Kebebasan berekspresi generasi muda hendaknya dibimbing agar tetap menghormati nilai-nilai kesopanan. Sementara para guru dan institusi perlu lebih adaptif menghadapi kritik era digital, misalnya dengan merespons secara komunikatif sebelum isu membesar. Dalam konteks Iky, seandainya sejak awal ada guru atau sekolah yang mengajak Iky dialog atas unek-uneknya, mungkin kasusnya tak akan meledak seperti sekarang.

Terakhir, implikasi hukum dari kasus ini dapat menjadi yurisprudensi tentang batas kritik di media sosial. Apabila kasus Iky berlanjut ke persidangan dan diputus bersalah, hal itu bisa menjadi preseden bahwa menghina profesi (tanpa menyebut nama individu) pun dapat dipidana. Ini berpotensi menimbulkan efek jera, tapi juga memunculkan diskusi lanjutan tentang kebebasan berpendapat vs. kriminalisasi ekspresi. Beberapa aktivis kebebasan berekspresi mengingatkan agar hukum tidak digunakan berlebihan (overcriminalization) untuk membungkam kritik, apalagi kritik yang bermaksud mengungkap kebobrokan. Namun dalam kasus Iky, mayoritas publik tampaknya sepakat bahwa ucapannya sudah melampaui batas kritik yang dapat ditoleransi.

Kesimpulannya, kasus Iky Kabah menunjukkan bahwa di era digital, ujar sembarangan bisa berbuah petaka. Ada harga yang harus dibayar atas sensasi viral, terutama jika menyangkut nama baik dan kehormatan orang lain. Para konten kreator dituntut lebih bijak dan bertanggung jawab. Sementara itu, bagi para guru dan institusi pendidikan, jadikan ini momentum untuk berintrospeksi dan meningkatkan komunikasi dengan siswa. Pada akhirnya, harapannya tercipta ekosistem pendidikan yang kondusif: di mana guru terhormat karena teladan dan integritasnya, dan siswa pun hormat tanpa perlu dipaksa, melainkan karena memang merasa dihargai dan dibimbing dengan baik. Semoga kasus ini menjadi pelajaran bagi kita semua, dan mendorong terciptanya ruang ekspresi yang sehat serta hubungan yang lebih baik antara guru-murid di masa mendatang.

Sumber: