Pesan artikel
Backlink iklan

40% Petani Sawit Indonesia Hadapi Tantangan Sertifikasi dan Ketertelusuran di EUDR

40% Petani Sawit Indonesia Hadapi Tantangan Sertifikasi dan Ketertelusuran di EUDR

--

Sekitar 40% lahan sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil, namun sebagian besar masih belum terdaftar dan belum terdaftar (Mongabay, 2023). Kesiapan digital untuk ketertelusuran dan sertifikasi menjadi semakin penting seiring dengan upaya produsen memenuhi standar RSPO dan ISPO, serta mematuhi EU Deforestation Regulation (EUDR). Meskipun terdapat pembahasan mengenai kemungkinan penundaan, belum ada konfirmasi resmi terkait penundaan tenggat waktu Desember 2025. Sertifikasi dan ketertelusuran kini menjadi “paspor baru” untuk akses pasar global, dan platform digital seperti KoltiTrace dan KoltiSkills membantu petani kecil mempersiapkan kepatuhan terhadap standar ISPO dan RSPO. Koltiva mendorong transparansi dan inklusi melalui platform KoltiTrace, melalui dukungan. terhadap inisiatif Sustainable Landscape Platform Indonesia (SLPI) dan Multi-Stakeholder Forum (MSF) bersama UNDP, SECO, dan pemerintah daerah.

Lebih dari 40% area perkebunan sawit Indonesia dikelola oleh petani kecil independent yang sebagian besar masih berada di luar sistem ketertelusuran dan sertifikasi formal (Mongabay, 2023). Kesenjangan ini membatasi akses mereka ke pasar berkelanjutan dan menimbulkan risiko kepatuhan bagi rantai pasok secara keseluruhan. Ketika negara importir global memperketat standar keberlanjutan melalui kebijakan seperti EUDR, Indonesia dihadapkan pada tantangan penting, yaitu mengintegrasikan jutaan petani kecil ke dalam rantai pasok yang transparan, tertelusur, dan inklusif agar tetap kompetitif di pasar global. Oleh karena itu, ketertelusuran digital dan kesiapan sertifikasi menjadi hal yang sangat penting, terlebih di tengah pembahasan kemungkinan penundaan EUDR, meskipun belum ada konfirmasi resmi terkait tenggat waktu Desember 2025 (Koltiva, 2025).

Kesenjangan Sertifikasi dan Ketertelusuran

Secara global, petani kecil yang mengelola kurang dari 50 hektare menghasilkan hingga 30% minyak sawit mentah dunia dan mencakup hampir sepertiga dari total area perkebunan sawit (Chain Action Research, 2021; RSPO, 2022). Faktanya, hanya 7% pabrik bersertifikat di Indonesia yang bermitra dengan petani kecil independen, dan kurang dari 1% dari mereka telah memperoleh sertifikasi RSPO atau ISPO. Di Provinsi Riau yang merupakan salah satu sentra produksi sawit terbesar di Indonesia, perkebunan petani independen mencakup 1,61 juta hektare, tetapi hanya 0,48% (7.798 ha) yang telah bersertifikat RSPO. Hal ini menunjukkan kesenjangan inklusi yang signifikan. Kekurangan data ini bukan hanya persoalan sertifikasi, melainkan juga mencerminkan minimnya visibilitas dan inklusi sistemik. Petani yang tidak terdaftar tetap terpinggirkan dari program keberlanjutan dan peluang hilir, sementara perusahaan menghadapi risiko kepatuhan dan hambatan pasar.

Ketertelusuran Digital: Dari Kepatuhan ke Peluang

Aspek legalitas dan ketertelusuran kini menjadi syarat utama untuk mengakses pasar ekspor premium. Di bawah EUDR dan kebijakan serupa, produsen harus membuktikan lokasi kebun (plot-level geolocation), legalitas lahan, serta rantai pasok yang dapat ditelusuri penuh hingga ke kebun (TTP). Bagi Indonesia, dengan rantai pasok yang kompleks dan banyak perantara, hal ini menuntut pendaftaran produsen yang terverifikasi, transaksi yang transparan, dan rantai pasok tanpa celah dari kebun hingga pabrik.

“Kami telah melihat bagaimana digitalisasi dan model kolaboratif dapat mengubah kepatuhan dari beban menjadi peluang. Namun dampak jangka panjang hanya dapat tercapai jika semua pemangku kepentingan bekerja bersama, memastikan tidak ada petani kecil yang tertinggal dalam transisi menuju rantai pasok berkelanjutan,” kata Jusupta Tarigan, Senior Program Manager di Koltiva.

Koltiva, perusahaan AgriTech asal Swiss-Indonesia, mengembangkan KoltiTrace, platform ketertelusuran digital yang memetakan produsen, memantau data di tingkat kebun, dan memverifikasi transaksi secara real time. Di Indonesia, sistem KoltiTrace telah memberdayakan lebih dari 2.600 bisnis di sepanjang rantai pasok sawit dan mendaftarkan lebih dari 178.000 petani, meningkatkan transparansi dan inklusi di setiap tahap produksi.

Koltiva juga berkolaborasi dengan UNDP, SECO, Swisscontact, dan pemerintah daerah untuk memperkuat pemberdayaan produsen melalui pengambilan keputusan berbasis data dan manajemen rantai pasok inklusif, sebagaimana ditunjukkan melalui Dashboard Multi-Stakeholder Forum (MSF) di Aceh Singkil (InfoSawit, 2025).

Kolaborasi Melalui SLPI dan MSF: Membangun Infrastruktur Digital Sawit Berkelanjutan

Koltiva mendorong transparansi dan inklusi melalui keterlibatan aktif dalam Sustainable Landscape Platform Indonesia (SLPI) serta inisiatif Multi-Stakeholder Forum (MSF) yang menyatukan lembaga pemerintah, sektor swasta, LSM, dan kelompok tani untuk menyelaraskan tujuan keberlanjutan. Melalui kolaborasi dengan UNDP, SECO, dan pemerintah daerah, Koltiva membantu membangun sistem data terintegrasi, memperkuat kesiapan sertifikasi, dan memperluas produksi sawit berkelanjutan di wilayah-wilayah utama.

Salah satu hasilnya adalah Dashboard MSF yang didukung oleh KoltiTrace MIS, yang memungkinkan pemerintah daerah seperti Kabupaten Aceh Singkil mengoordinasikan aksi, memantau indikator keberlanjutan, dan menerbitkan laporan kemajuan secara transparan.

Dengan partisipasi 9 LSM dan 8 lembaga pemerintah, dashboard ini meningkatkan akuntabilitas, kepercayaan investor, serta produktivitas, sekaligus mengurangi risiko deforestasi.

“Banyak perusahaan di Indonesia kini mengadopsi teknologi untuk memenuhi standar keberlanjutan dan mengintegrasikannya ke dalam rantai nilai mereka. Ketertelusuran digital bukan sekadar alat kepatuhan, tetapi fondasi ketahanan ekonomi. Dengan memberdayakan petani melalui data, kita menciptakan visibilitas yang mendorong nilai, transparansi, dan akses ke pasar premium,” ungkap Ainu Rofiq, Co-Founder Koltiva.

Kolaborasi lintas industri tetap menjadi kunci untuk menutup kesenjangan data yang membuat jutaan produsen tak terlihat. Dengan menggabungkan data kebun yang terverifikasi, ketertelusuran digital, dan dukungan sertifikasi, Indonesia dapat memperkuat posisinya di pasar global sekaligus memastikan kesejahteraan petani kecil.

Sumber: