Membatalkan Kontrak Sosial: Jalan Menuju Kebebasan Batin
“Tidak ada cinta yang menyakitkan,” ulang Dr. Daniel dalam wawancara itu. “Yang menyakitkan adalah gagal memenuhi harapan yang kita ciptakan sendiri.”
Ia mengajak kita untuk membatalkan kontrak sosial batin itu—kontrak yang membuat kita percaya bahwa kebahagiaan tergantung pada tindakan orang lain.
Ini sejalan dengan ajaran kesadaran Timur seperti Advaita Vedanta atau Zen Buddhism, yang melihat penderitaan sebagai hasil ilusi dualitas. Dalam kesadaran non-dualistik, tidak ada ‘aku yang mencintai’ dan ‘kamu yang dicintai’; yang ada hanyalah energi kasih yang mengalir.
Dr. Daniel menyebut proses ini sebagai “deconditioning”—membongkar syarat yang kita tempelkan pada kebahagiaan. “Begitu kita berhenti menawar, cinta menjadi bebas,” katanya.
Praktik Membebaskan Diri: Dari Cinta Bersyarat ke Kasih Tanpa Pamrih
Untuk bertransisi dari cinta yang bersyarat menuju kasih yang tanpa pamrih, Dr. Daniel menyarankan latihan sederhana namun mendalam.
1. Observasi Ekspektasi
Setiap kali Anda merasa tersinggung, kecewa, atau terluka oleh pasangan, berhentilah sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: “Janji tak tertulis apa yang baru saja saya yakini telah dilanggar?” Kesadaran ini membantu Anda memisahkan tindakan pasangan dari konstruksi mental Anda sendiri.
2. Kepemilikan Emosi
Akui bahwa rasa sakit bukan disebabkan oleh pasangan, melainkan oleh reaksi Anda terhadap harapan yang gagal. Ini adalah bentuk radical responsibility—menerima bahwa sumber penderitaan ada di dalam, bukan di luar.
3. Latihan Kasih Tanpa Balasan
Mulailah dengan tindakan kecil: memberi tanpa pamrih. Berikan pujian, bantu orang lain, atau ucapkan terima kasih tanpa menunggu reaksi. Rasakan kebahagiaan yang muncul hanya karena memberi itu sendiri. Seiring waktu, kebahagiaan ini menjadi alami—seperti matahari yang bersinar tanpa niat.
Refleksi di Era Modern: Cinta, Ego, dan Teknologi
Zaman modern menghadirkan paradoks besar dalam hubungan. Kita terhubung lebih dari sebelumnya, namun merasa lebih kesepian. Banyak pasangan “bersama” secara fisik, tapi terpisah secara emosional karena interaksi mereka dimediasi layar.
Dalam ekosistem ini, ego menemukan lahan subur. Ia menuntut validasi instan, membandingkan, menilai, dan menciptakan narasi bahwa cinta harus tampak “ideal”. Padahal, cinta sejati tidak perlu dipamerkan—ia hanya perlu dihidupi.