Bukan Cinta yang Menyiksa, Tapi Harapan yang Memenjarakan: Menyelami Tiga Level Hubungan Manusia

Minggu 26-10-2025,18:09 WIB
Reporter : Vritimes.com
Editor : Vritimes.com

Kita sering menyalahkan cinta atas luka yang kita rasakan. Padahal, seperti yang diungkap Dr. Daniel Suwandi, bukan cinta yang menyakitkan—melainkan harapan yang tak terpenuhi. Dalam wawancara eksklusif ini, Dr. Daniel mengajak kita menyelami tiga level hubungan manusia: Nafsu, Cinta, dan Kasih. Sebuah perjalanan batin yang membuka mata: dari hubungan yang berpusat pada ego, menuju cinta yang bersyarat, hingga akhirnya sampai pada Kasih sejati—cinta yang bebas dan tenang

Sebuah Renungan Bersama Daniel Suwandi, Ph.D. (pulihdaridalam.com)

Ada satu kalimat yang sudah terlalu sering kita dengar—dan mungkin pernah kita ucapkan sendiri saat hati remuk: “Cinta itu menyakitkan.” Kalimat itu seperti mantra universal yang diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi pembenaran bahwa mencintai berarti siap menderita. Namun, bagaimana jika sebenarnya bukan cinta yang menyakitkan, melainkan harapan yang tak terpenuhi?

Pandangan inilah yang dibawa oleh Daniel Suwandi, Ph.D., seorang pakar Psikologi Spiritual dan Transpersonal. Dalam wawancara eksklusif, ia memaparkan gagasan radikal: bahwa penderitaan dalam hubungan bukanlah akibat cinta, melainkan kontrak tak terlihat yang kita buat di dalam pikiran kita sendiri. “Rasa sakit bukan efek dari mencintai, tapi hasil dari tawar-menawar yang gagal,” ujarnya tenang.

Dr. Daniel menguraikan analisisnya ke dalam tiga tingkatan kedewasaan hubungan: NafsuCinta, dan Kasih. Melalui tiga lensa ini, ia mengajak kita meninjau ulang: apakah yang kita jalani benar-benar cinta, atau hanya keinginan yang terselubung dalam pakaian romantisme?

Level 1: Nafsu – Ketika Hubungan Adalah Cermin Pemanfaatan Diri

Menurut Dr. Daniel, tingkat pertama dinamakan Nafsu—sebuah hubungan yang berpusat sepenuhnya pada pemenuhan diri. Ia menyebutnya sebagai “Tingkat Pemanfaatan” atau The Taker.

“Nafsu selalu bertanya, ‘Apa yang bisa saya dapatkan darimu?’,” katanya. “Ia adalah dorongan paling dasar dari ego manusia—tentang dominasi, kontrol, dan rasa aman palsu.”

Dalam konteks ini, pasangan, anak, atau bahkan sahabat hanya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan batin yang tak tersadari: validasi, kekuasaan, atau rasa berharga. Contoh yang paling dekat justru muncul dalam lingkungan yang dianggap suci—keluarga.

Seorang orang tua, misalnya, memaksa anak masuk ke sekolah elit demi gengsi sosial, sembari berkata, “Ini demi masa depanmu.” Tapi di balik kata “demi,” sering tersembunyi ego yang haus pengakuan. Dr. Daniel menyoroti bahwa tindakan semacam itu bukanlah cinta orang tua, melainkan nafsu akan status dan kebanggaan diri.

Begitu pula dalam pernikahan. Banyak pasangan yang sebenarnya tidak mencintai, melainkan ingin memiliki. Kalimat seperti, “Aku melarang kamu bekerja demi menjaga kehormatan keluarga,” kerap terdengar mulia, padahal sering berakar dari kebutuhan untuk menguasai dan mengendalikan. “Kontrol adalah bentuk halus dari ketakutan,” kata Dr. Daniel. “Dan di balik ketakutan itu, ada ego yang tidak ingin kehilangan sumber pemenuhannya.”

Level 2: Cinta – Kontrak Sosial Tak Terucap yang Membatasi Kebebasan

Jika Nafsu adalah hubungan transaksional satu arah, maka tingkat kedua—Cinta—terlihat lebih matang, tapi justru menjadi sumber penderitaan terbesar.

Dr. Daniel menyebutnya sebagai Cinta Bersyarat atau The Conditional Contractor. “Di sini, kita masih beroperasi dalam sistem pertukaran yang tersamar,” jelasnya. “Ada perjanjian tak tertulis: Aku mencintaimu asalkan kamu juga mencintaiku dengan kadar yang sama.

Ini adalah cinta yang menjadi mata uang sosial. Kita memberi, tapi diam-diam menghitung. Kita menolong, tapi berharap diingat. Kita berkorban, tapi menunggu imbalan moral: ucapan terima kasih, pengakuan, atau setidaknya balasan emosi yang setara. Saat kontrak batin itu dilanggar, muncul rasa kecewa, sakit hati, bahkan dendam.

Tags :
Kategori :

Terkait