PONTIANAKINFO.COM, KUBU RAYA - Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) kembali menjadi tumpuan keluarga korban penganiayaan, HN (65), yang kondisinya kini memprihatinkan. Ironisnya, setelah Mahkamah Agung mengabulkan kasasi jaksa dan menjatuhkan pidana 6 bulan penjara terhadap pelaku Jaka Busa, HN justru ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan membawa senjata tajam dan perbuatan tidak menyenangkan. LBH KRI menilai penetapan ini bermasalah secara yuridis dan akan menggugatnya lewat praperadilan.
Perkara penganiayaan yang menimpa HN, seorang petani kelapa berusia 65 tahun, sempat menjadi perhatian publik sejak akhir 2024. Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 56/Pid.B/2025/PN Mpw awalnya membebaskan terdakwa Jaka Busa dari tuntutan jaksa, meski dalam dakwaan dan fakta persidangan disebutkan korban menderita luka robek di pelipis dan telapak tangan akibat pukulan dan perebutan parang.
Namun, keadilan datang lewat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1245 K/PID/2025 tertanggal 10 Juli 2025, yang menyatakan “Kabul Kasasi Penuntut Umum, batal judex facti, adili sendiri — terbukti Pasal 351 ayat (1) KUHP — pidana penjara 6 (enam) bulan”. Putusan ini sekaligus mengakhiri proses panjang perkara tersebut, menetapkan Jaka Busa bersalah melakukan penganiayaan terhadap HN.
BACA JUGA:Penggerebekan Gudang Oli Ilegal Bermerek Pertamina di Kubu Raya, 2000 Dus Diamankan
Alih-alih mendapatkan kepastian hukum dan pemulihan, HN justru menghadapi babak baru yang mengejutkan. Berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/161/VIII/2025/Reskrim tertanggal 31 Juli 2025 yang dikeluarkan Polres Kubu Raya, HN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat 1951 dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang membawa senjata tajam tanpa hak dan perbuatan tidak menyenangkan. Dugaan ini merujuk pada peristiwa yang faktanya telah dibahas dalam persidangan perkara penganiayaan sebelumnya.
Ketua LBH Kapuas Raya Indonesia, Eka Kurnia Chrislianto, menilai penetapan tersangka terhadap HN tidak hanya cacat hukum secara formil dan materil, tetapi juga berpotensi menciptakan preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia apabila tetap dibiarkan memasuki proses persidangan.
“Kami akan berpegang pada adagium res judicata pro veritate habetur—putusan hakim yang final harus dianggap sebagai kebenaran. Putusan Mahkamah Agung telah menetapkan kebenaran hukum bahwa HN adalah korban. Kebenaran yudisial ini tidak bisa dinegasikan oleh penyidikan baru yang narasinya bertentangan 180 derajat,” tegas Eka dalam keterangan pers di Kantor LBH KRI, Pontianak pada Minggu, 10 Agustus 2025.
BACA JUGA:Masuknya Investasi di Kubu Raya Diiringi Masalah ODOL dan Jalan Rusak
Eka juga mengomentari terkait fakta terkait keberadaan parang dalam perkara ini telah diuji, dinilai, dan dipertimbangkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 56/Pid.B/2025/PN Mpw, bahkan sampai pada tingkat Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1245 K/PID/2025. Dengan demikian, membuka kembali perkara dengan objek dan rangkaian fakta yang sama bertentangan dengan asas tersebut.
Lebih lanjut, Eka menegaskan bahwa proses hukum terhadap HN adalah bentuk nyata penyalahgunaan kewenangan.
“Ini adalah contoh klasik abuse of process. Sistem hukum yang seharusnya menjadi sarana pemulihan bagi korban justru digunakan untuk menyerang balik korban yang telah memenangkan keadilan di tingkat tertinggi. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden berbahaya bagi penegakan hukum dan harus dilawan melalui praperadilan, yang memang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap potensi kesewenang-wenangan aparat,” ujarnya.
BACA JUGA:XXI Transmart Kubu Raya Tutup Sementara Mulai 13 Mei, Netizen Ramai Berspekulasi
LBH KRI kemudian membedah kelemahan mendasar dalam pasal-pasal yang disangkakan kepada HN. Pertama, tuduhan kepemilikan senjata tajam. Eka menegaskan penerapan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dalam perkara ini keliru secara yuridis.
“Unsur ‘tanpa hak’ dalam pasal tersebut tidak terpenuhi. Parang yang dibawa HN adalah alat pertanian untuk bekerja di kebun, bukan senjata untuk melakukan tindak pidana. Kami akan merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 103 K/Kr/1975, yang dengan tegas menyatakan bahwa alat-alat pertanian seperti parang bagi petani bukanlah senjata tajam yang dilarang oleh undang-undang,” jelasnya.