PONTIANAKINFO.COM, PONTIANAK - Kasus dugaan kekerasan terhadap seorang perempuan muda yang kini ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Rakyat Indonesia (LBH KRI) dan Sahabat Saksi dan Korban (SSK) terus bergulir. Dalam wawancara yang dilakukan dengan media pada Rabu, 25 Juni 2025, kedua pihak memberikan tanggapan awal mereka terkait perjalanan kasus ini dan menegaskan sikap tegas korban: menolak damai dan meminta agar proses hukum dijalankan hingga tuntas.
Menurut perwakilan SSK, sejak awal kasus ini ditangani, koordinasi antar lembaga berjalan lancar.
“Progresnya luar biasa. Kami sudah berkoordinasi dengan penyidik dan bahkan hari ini menerima koordinasi langsung dari Dinas Sosial Sanggau, tempat domisili korban,” ujar pihak SSK.
Korban telah resmi memberikan kuasa hukum kepada LBH KRI sejak Sabtu lalu.
“Saat datang ke kami, korban dalam kondisi tubuh yang gemetar, mata lebam dengan warna hitam kebiruan di sisi kiri. Ia mengisahkan kronologi kejadian selama dua jam, dalam keadaan sangat trauma,” ungkap pihak kuasa hukum.
Karena kondisi tersebut, korban meminta agar tidak dihubungi oleh siapapun, termasuk keluarganya. Hingga kini, alamat korban pun dirahasiakan bahkan dari tim hukum sendiri, demi alasan keamanan dan perlindungan psikologis.
Pada Senin, 24 Juni 2025, tim kuasa hukum telah menghadap penyidik untuk menunjukkan surat kuasa serta menanyakan perkembangan penyelidikan. Hingga kini, menurut keterangan penyidik, telah diperiksa tujuh orang, termasuk korban dan enam saksi lainnya. Berkas perkara pun disebut-sebut akan segera dilimpahkan ke kejaksaan.
Namun, kuasa hukum menyampaikan kekhawatirannya terhadap adanya upaya damai yang didorong oleh pihak-pihak tak dikenal.
“Kami dapat informasi, ada pihak yang mengaku sebagai keluarga tersangka datang ke kejaksaan untuk meminta mediasi. Namun, kami sangat mengapresiasi Kejaksaan Negeri karena menolak upaya pertemuan itu,” tegas kuasa hukum.
BACA JUGA:Penganiayaan dan Penyebaran Konten Asusila oleh Tiga Remaja Pontianak, SSK Desak Gunakan UU TPKS
Pihak LBH KRI juga menekankan bahwa sejak awal kasus ini bergulir, tidak pernah ada niat untuk melakukan mediasi atau Restorative Justice (RJ).
“Korban secara tegas tidak menginginkan damai. Ia ingin proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan komunikasi dengan orang lain, termasuk keluarga, saat ini masih ditolak korban karena trauma mendalam,” lanjutnya.
Lebih lanjut, kuasa hukum menyebutkan adanya dugaan tekanan dari pihak yang mengaku sebagai keluarga tersangka, termasuk upaya intimidasi terhadap ibu korban.