Backlink
Rentcar MaC

Fenomena WTP di Tengah Korupsi yang Tak Berkesudahan

Fenomena WTP di Tengah Korupsi yang Tak Berkesudahan

TULISAN ini dilatarbelakangi oleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang saat ini ramai dijadikan ‘tameng’--

PONTIANAKINFO.DISWAY.ID - TULISAN ini dilatarbelakangi oleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang saat ini ramai dijadikan ‘tameng’ untuk mengelabui publik terhadap perilaku korup para pejabat. Nyaris setiap tahun media massa selalu kebanjiran iklan ucapan selamat kepada beberapa lembaga pemerintah atas pencapaian opini WTP.

Kementerian atau lembaga pemerintah di pusat dan daerah kini punya kegemaran baru, yakni gemar berburu opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Memang menjadi wajar jika WTP diburu karena merupakan opini tertinggi dari BPK terhadap laporan keuangan yang memenuhi standar akuntansi pemerintah.

Kualitas opini WTP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi kepada masyarakat memiliki peranan penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan kata lain, semakin baik opini yang diperoleh, maka akan semakin tinggi tingkat kepercayaan masyarakat.

Secara nasional, capaian opini WTP atas LKPD menunjukkan perkembangan yang sangat positif di mana perolehan opini WTP mengalami peningkatan signifikan pada seluruh tingkatan pemerintahan.

Sejatinya perolehan opini WTP dapat memberikan keyakinan kepada publik bahwa kepala daerah memiliki komitmen kuat dan integritas yang tinggi dalam mendorong terwujudnya pengelolaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih (good governance and clean government), terutama pada aspek penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Hal tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa kepala daerah telah melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pengemban amanat rakyat.

Selain Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) – (Unqualified Opinion), ada juga Opini Wajar Tanpa Pengecualian dengan Paragraf Penjelasan (WTP-DPP) – (Modified Unqualified Opinion), Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) – (Qualified Opinion), Opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP) – (Disclaimer of opinion), dan Opini Tidak Wajar (TW) (Adverse Opinion).

Opini WTP diberikan jika laporan keuangan dalam segala hal yang material sudah sesuai dengan standar akuntansi keuangan. WTP-DPP jika dalam keadaan tertentu auditor harus menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam laporan audit, meskipun tidak mempengaruhi pendapat wajar tanpa pengecualian atas laporannya. WDP jika ada ketidaksesuaian yang material pada satu atau beberapa pos laporan keuangan, namun tidak mempengaruhi kewajarannya secara keseluruhan. Sementara, TMP jika auditor dibatasi geraknya, tidak bisa mengumpulkan bukti audit dengan nilai sangat material sehingga kewajaran laporan keuangan diragukan. Sedangkan TW jika laporan keuangan mengandung salah saji yang sangat material atau sangat menyesatkan sehingga tidak disajikan secara wajar.

Pencapaian opini WTP menjadi sebuah kebanggaan dan prestasi. Sebab, bagi awam, penerima opini WTP dipahami sebagai lembaga yang paling bersih dan berprestasi yang oleh karenanya harus ditunjukkan kepada seluruh masyarakat. Tentunya dengan tujuan agar muncul pencitraan positif bagi Pemerintah Daerah (Pemda) bahwa roda pemerintahan telah akuntabel dan bersih. Sehingga wajar saja jika Pemda terus berusaha untuk mendapat opini WTP dari BPK.

Perburuan WTP, agaknya lebih kepada mengejar image sukses seorang kepala daerah dalam masa kepemimpinannya. Sebuah upaya memunculkan pemikiran di masyarakat bahwa daerah yang memperoleh WTP sama halnya dengan mendapat pengakuan good governance dan bebas dari praktik penyimpangan khususnya korupsi.

Namun, benarkah WTP adalah stempel bebas korupsi? jawabnya tidak! Sebab, pemberian opini WTP sebenarnya hanyalah bentuk apresiasi atas pemeriksaan laporan keuangan yang dinilai sudah sesuai standar akuntansi pemerintahan.

Sampai dengan saat ini belum ada indikasi bahwa pemerintah atau sebuah lembaga pemerintah baik di pusat dan di daerah yang mendapatkan opini WTP, maka sekaligus bisa dinyatakan bahwa pemerintahan yang dijalankannya adalah pemerintahan yang bersih (clean goverment). Faktanya opini WTP itu saat ini baru sekedar memenuhi unsur-unsur pemerintahan yang baik saja (good governance).

Tidak sedikit pejabat daerah yang begitu membanggakan keberhasilannya meraih opini WTP dengan serta merta mengaitkannya sebagai daerah yang bebas korupsi. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa klaim tersebut tak beralasan.

WTP itu masih belum menjamin potensi penyimpangan anggaran tidak terjadi. Karena audit BPK itu hanya memeriksa secara formil bukan materiil. Banyak daerah yang dapat WTP tapi masih juga ada temuan korupsi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Penilaian BPK terhadap laporan keuangan itu cuma untuk menunjukkan pengelolaan, bukan penyimpangan. Artinya secara administratif bisa dipertanggungjawabkan, tetapi belum tentu secara hukum. Karena, WTP tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi potensi korupsi.

Di level diskursus birokrasi pemerintahan, audit keuangan banyak dipersepsikan sebagai kegiatan pemeriksaan keuangan yang komprehensif, yaitu untuk menemukan penyimpangan dan pengidentifikasian tindakan koruptif.

Masyarakat umum dan banyak birokrat juga belum paham betul dengan kebenaran sifat audit keuangan. Mereka mempersepsikan jika opini hasil audit WTP, maka pengelolaan keuangan telah dinyatakan bersih dari penyimpangan. Masih banyak yang terpana ketika sebuah instansi pemerintah mendapatkan opini WTP, tetapi dalam hitungan bulan kemudian beberapa pejabat di instansi tersebut tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebegitu dianggap penting dan berharganya WTP sampai-sampai sebagian Pemda menempuh semua cara. Harus tegas dikatakan bahwa berburu opini WTP sah-sah saja, malah sebuah keharusan agar pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan taat asas. Akan tetapi, perburuan itu menyesatkan bila dilakukan dengan cara tak terpuji. Cara tak terpuji itulah yang tersurat dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.

Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Kementerian Agama (Kemenag) 2012 lalu. BPK menyerahkan hasil audit dengan status WTP kepada menteri agama (Menag). Tapi beberapa hari setelahnya, KPK malah membongkar korupsi pengadaan Al-qur’an di kementerian ini. Ada juga kasus Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah. Namun, BPK tetap memberikan opini WTP atas penyajian laporan keuangan Kemenpora.

Upaya pemerintah untuk mencapai audit BPK dengan opini sempurna ini ternyata menciptakan peluang kolusi antara auditor dengan lembaga pemerintah.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya sudah ada enam kasus suap atau gratifikasi yang melibatkan 23 auditor BPK sejak 2005 – 2017 Lalu. Auditor dimaksud menerima sogokan agar memberikan opini WTP terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga pemerintah. Dan di 2018 Lalu, ICW mencatat, setidaknya ada 10 kepala daerah yang ditangkap oleh KPK walau daerahnya sudah menerima predikat WTP. Para kepala daerah itu terdiri dari bupati, walikota, hingga gubernur.

Penangkapan kepala daerah penerima predikat WTP ini menjadi anomali. Alasan banyaknya kepala daerah yang terjaring OTT oleh KPK tetapi tetap mendapat opini WTP dari BPK, itu lantaran praktik suap yang dilakukan kepala daerah tersebut tidak memengaruhi laporan keuangan.

Sehingga, kasus korupsi seperti “suap” masih mungkin terjadi meski BPK sudah memberi label predikat WTP. Mereka terima suap biasanya tidak bisa dideteksi dengan audit, karena itu mereka menerima suap.

Publik prihatin, sangat prihatin, opini WTP dijadikan alat transaksi suap. Kasus transaksional opini WTP harus dijadikan pembelajaran bagi kementerian/lembaga untuk tidak perlu mengambil jalan pintas demi menggapai kebanggaan opini WTP. Hal itu harus dicapai dengan cara yang benar, bukan dengan cara yang melanggar hukum.

Demikian juga BPK yang notabenenya sebagai institusi pemberi opini, sangat perlu untuk mencegah sekecil apa pun celah terciptanya hubungan kolutif antara auditor dan lembaga yang diaudit. Para penyelenggara negara, termasuk BPK haruslah sadar sepenuhnya bahwa opini WTP bukanlah tujuan akhir. Itu hanya sasaran antara, sedangkan tujuan utamanya ialah keuangan negara dikelola sepenuhnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Predikat WTP dari BPK biasanya hanya berdasar audit berbasis sampel, oleh karenanya mungkin saja lolos dari perhatian BPK. Dalam audit, auditor menghadapi keterbatasan yang timbul karena proses audit itu sendiri.

Pada umumnya auditor melakukan audit secara sampling karena tidak mungkin memeriksa seluruh transaksi, apalagi pada perusahaan besar atau entitas pemerintah yang menggunakan anggaran besar. Diperlukan biaya besar dan waktu lama untuk memeriksa seluruh populasi. Manfaat informasi dalam laporan keuangan juga sia-sia (menjadi basi) jika waktu pemeriksaannya lama, sementara informasi dibutuhkan segera untuk pengambilan keputusan.

Penggunaan sampling merupakan praktik yang lazim dalam audit. Ini berarti audit dilakukan berdasar pengujian sebagian data secara uji petik. Cara demikian mengandung risiko terjadinya salah saji material yang tidak ditemukan. Namun, dengan analisis risiko dan metoda sampling yang tepat, maka risiko tersebut dapat diminimalisir.

Situasi itu sangat menyulitkan auditor, karena auditor selalu bekerja berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Situasi yang koruptif dan kolutif berakibat pada data (fakta) yang diterima auditor sering bersifat “rekayasa” yang disusun sangat rapi sehingga sulit dideteksi. Dengan banyaknya praktik penyimpangan, meskipun sudah menggunakan pendekatan audit berbasis risiko dan pemilihan metoda sampling yang tepat, auditor masih menghadapi risiko ada transaksi atau kegiatan yang luput dari pemeriksaan dan di kemudian hari ditemukan korupsi oleh penegak hukum (KPK, red).

Dengan keterbatasan audit dan faktor lingkungan yang koruptif, maka sangat sulit bagi BPK untuk menjamin opini WTP bebas dari korupsi. Audit memiliki keterbatasan dalam pengambilan sampel audit, karena tidak semua transaksi diperiksa. Bisa terjadi, untuk sejumlah transaksi yang tidak diambil sebagai sampel, justru terjadi korupsi. Apalagi jika sifatnya penyuapan kepada pejabat publik, sangat sulit dideteksi dari transaksi yang diaudit.

Berdasarkan banyak di pemberitaan media massa yang bisa kita perhatikan secara seksama, seruan saya agar BPK jangan seperti sebelum-sebelumnya yang dengan gampangnya memberikan WTP, karena WTP tidak menjamin keuangan sehat dan transparan, bahkan terkadang WTP dimanfaatkan untuk menutupi kasus-kasus penyimpangan keuangan di daerah.

Kasus korupsi pada lembaga yang berpredikat WTP telah menggerus kepercayaan masyarakat kepada BPK. Tidak sedikit yang menduga opini WTP bisa diperjual-belikan. Tidak keliru jika pandangan masyarakat kepada BPK menjadi buruk. Sebab, masyarakat tidak mendapat penjelasan yang benar mengenai opini BPK. Masyarakat menyangka, jika WTP pasti tidak ada korupsi. Jika ada korupsi, maka auditnya pasti salah. Padahal, pandangan itu dilihat dari sudut ilmu audit tidak tepat. Opini WTP bukan dimaksudkan untuk menjamin tidak ada korupsi.

Saya menilai bahwa transparansi keuangan daerah masih kurang memuaskan. Ada banyak Pemda yang enggan untuk membuka laporan keuangan kepada masyarakat, padahal masyarakat berhak untuk mengetahui kondisi keuangan yang dikelola. Terlebih lagi jika ada permintaan dari publik.

Sebagai contoh dekat, belum lama ini Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kota Tarakan meminta soal transparansi penggunaan anggaran Humas dan Protokol Pemda Provinsi Kalimantan Utara agar ditransparansikan data terkait audit secara prosedur dan mekanisme penggunaan anggarannya.

Berdasarkan uraian dan fakta di atas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa opini WTP atas LKPD yang diberikan oleh BPK belum menjamin penyelenggara pemerintahan daerah lepas dari jeratan tindak pidana korupsi. Hal ini lebih disebabkan pada ruang lingkup pemeriksaan BPK yang masih terbatas pada proses penatausahaan dan pertanggungjawaban.

Selain untuk mengejar citra pengelolaan uang yang bertanggungjawab pada masyarakat, entitas pemerintahan juga mengejar penghargaan dari Kementerian Keuangan yang jumlahnya ternyata mencapai miliaran rupiah apabila bisa mencapai target WTP. Sehingga menurut saya adalah hal yang wajar jika ada yang berani memberikan “suap” ratusan juta rupiah kepada auditor BPK. Tergantung besaran reward dari pemerintah pusat untuk daerah yang memperoleh WTP.

Nilai suap pun bervariasi, dari puluhan juta rupiah hingga miliaran rupiah, tergantung besaran reward-nya. Dalam sidang perkara korupsi kartu tanda penduduk elektronik, misalnya, seorang auditor BPK bernama Wulung disebut menerima uang Rp. 80 juta.

Nilai suap tersebut, sebenarnya relatif kecil dibanding reward dari pemerintah pusat untuk daerah yang memperoleh WTP. Penghargaan itu berupa kucuran Dana Insentif Daerah (DID), yang kemudian DID itu dimanfaatkan untuk kepentingan belanja daerah atau dimanfaatkan untuk belanja kepentingan kepala daerah.

Karena WTP menjadi kriteria utama, tentu tidak semua daerah mendapatkan DID. Pengesahan Peraturan Daerah (Perda) APBD yang tepat waktu juga menjadi penilaian penting.

Pemberian predikat WTP akan memudahkan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah untuk mencairkan anggaran. Kalau laporan keuangannya baik, maka pencairan dana dari pusat ke daerah atau anggaran lainnya akan semakin mudah.

Patut diwaspadai, jangan sampai perburuan reward atas WTP menjadi awal siklus lingkaran korupsi. Jika oknum BPK sebagai auditor eksternal bisa dipengaruhi bahkan gampang dibeli, lalu supreme auditor internal di kelembagaan juga main mata, maka dipastikan siklus korupsi akan terjadi.

Indikatornya adalah ketika kelembagaan atau Pemda sudah berlomba-lomba mendapatkan opini WTP, misalnya dengan merekayasa laporan keuangan atau bekerja sama dengan pihak luar dan untuk memberikan privilege ke auditor. Lalu untuk itu semua pihak ketiga memberikan sesuatu karena ada urusan yang dalam laporan itu, sehingga opini yang seharusnya bukan WTP, tapi dipaksakan menjadi WTP.

Tapi, tentu bukan semata uang yang jadi tujuan Pemda berburu WTP. Toh jumlahnya tidak terlalu besar. Malah relatif kecil untuk ukuran Pemda yang memiliki potensi pemasukan ratusan miliar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pencapaian WTP sebenarnya sudah merupakan kewajiban pemerintah. Sehingga yang diberikan seharusnya bukan penghargaan, tapi hukuman bagi entitas pemerintahan yang tidak mendapatkan WTP. Penghargaan dan hukuman memang dapat dilakukan sebagai langkah awal, agar entitas pemerintah dapat memperbaiki pengelolaan keuangan negara. Namun, pemerintah juga harus mengantisipasi efek negatif yang terjadi akibat penghargaan dan hukuman tersebut.

Karenanya, kebanggaan berlebihan memperoleh WTP itu menjadi tidak tepat, itu adalah hal yang keliru. Apalagi penyajian laporan keuangan WTP sebenarnya adalah kewajiban, bukan prestasi. Tak perlu digembar-gemborkan dan malah menjadi semacam euforia belaka.

Adalah penting merubah paradigma daripada memburu WTP, Pemda lebih baik menyusun laporan keuangan berdasarkan asas manfaat yang bukan hanya bersandar pada deretan angka. Sebab ukuran keberhasilan yang sebenarnya, terletak pada kemampuan mengentaskan persoalan kemiskinan, pengangguran, atau masalah ekonomi.

Percuma meraih opini WTP jika rakyat tetap hidup dalam kubangan kemiskinan. Jangan bangga dengan WTP jikalau masih banyak pengangguran dan Kemiskinan. Jika itu yang terjadi, opini WTP hanya menjadi prestasi kosong di atas kertas tanpa bukti nyata yakni kemakmuran rakyat.

Jika paradigma asas manfaat ini yang menjadi rujukan, maka Pemda tak perlu lagi repot mengejar WTP. Karena, WTP sendiri yang akan datang sebagai bukti dari sebuah pemerintahan yang gemilang dan tolak ukur kesuksesan seorang kepala daerah.

Publish: Rifaldi/Red

Sumber: siagasatu.co.id