Riset MSC: Social Commerce Tumbuh Pesat, Tapi Perempuan Masih Tertinggal di Ekonomi Digital

--
Riset MSC 2025 mengungkap mayoritas perempuan pelaku *social commerce* di Indonesia masih mengandalkan dana pribadi dan minim pelatihan, sehingga perlu ekosistem digital inklusif dan akses pembiayaan formal agar usaha mereka bisa tumbuh berkelanjutan.
“Saya hanya tahu fitur katalog di WhatsApp Business dari wawancara ini. Saya harap ada pelatihan supaya bisa menggunakannya dengan efektif.” ujar Jumiyah, pengusaha kuliner di Balikpapan.
Cerita Jumiyah bukan kasus tunggal. Ribuan pengusaha mikro di Indonesia, terutama perempuan, kini menggantungkan mata pencahariannya pada social commerce, aktivitas jual beli barang dan jasa melalui media sosial seperti WhatsApp, Facebook, dan TikTok. Namun di balik geliat ini, masih banyak pengusaha yang berjalan tanpa perlindungan, pelatihan, maupun akses keuangan formal.
Social commerce berbeda dengan e-commerce formal yang lebih terstruktur. Ia dikelola secara sederhana, berbasis jaringan pribadi, dan banyak dijalankan oleh pengusaha mikro informal. Menurut PP No. 7 Tahun 2021, pengusaha mikro adalah pengusaha produktif dengan modal usaha maksimal Rp 1 miliar atau omzet tahunan hingga Rp 2 miliar. Banyak pelaku social commerce tergolong pengusaha mikro informal, yakni usaha perorangan berskala kecil yang dikelola sederhana, belum sepenuhnya tercatat secara formal, dan berbasis jaringan pribadi.
Riset terbaru MSC (MicroSave Consulting) Southeast Asia yang berjudul “The Landscape and Financial Access of Social Commerce Sellers in Indonesia” dilakukan MSC di tujuh provinsi di Indonesia dengan memanfaatkan data Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), untuk menganalisis distribusi usaha sosial di berbagai wilayah. Fokus utamanya adalah menelusuri perjalanan para pengusaha social commerce, terutama perempuan, dalam mengakses layanan keuangan digital, memahami hambatan yang mereka hadapi, serta menguji potensi model kredit berbasis data untuk meningkatkan inklusi keuangan.
Studi ini menemukan 74% pelaku perdagangan sosial masih mengandalkan dana pribadi untuk modal usaha. Hanya sebagian kecil yang mendapatkan kredit dari lembaga keuangan formal. Perempuan memang lebih aktif berjualan lewat media sosial, tetapi cenderung lebih berhati-hati mengambil risiko finansial. Banyak yang memilih skema informal seperti arisan dibanding pinjaman bank. Selain itu, kurangnya integrasi fitur end-to-end (berupa katalog, pembayaran, logistik, dll) membuat transaksi tetap manual, rawan risiko, dan tidak tercatat. Kondisi ini menjadi hambatan utama untuk mengakses pembiayaan formal.
Riset ini juga mencatat hanya 5,8% pengusaha yang pernah mengikuti pelatihan bisnis. Angka ini menunjukkan perlunya pendekatan pelatihan yang fleksibel, murah, dan sesuai dengan platform yang digunakan pengusaha sehari-hari.
Cerita lain datang dari Ratna, pengusaha kerajinan di Jawa Barat, yang mengandalkan WhatsApp dan arisan komunitas untuk menopang usahanya. Ia menolak menggunakan pembayaran digital karena khawatir dengan penipuan, dan merasa sistemnya terlalu rumit.
“Saya tidak terbiasa dengan sistem perbankan, saya percaya pada orang-orang yang saya kenal,” katanya. Sikap ini mencerminkan rendahnya adopsi digital di antara pengusaha berbasis komunitas yang rentan kehilangan akses jika tidak ada pendekatan inklusif dan edukatif.
Temuan-temuan ini menyoroti urgensi membangun ekosistem digital yang inklusif dan aman, mulai dari regulasi yang mendukung, perlindungan konsumen, hingga pemanfaatan data alternatif untuk credit scoring. Platform digital juga perlu menghadirkan fitur yang sederhana dan ramah pengguna agar pengusaha informal bisa berkembang tanpa harus berpindah ke e-commerce yang kompleks.
"Social commerce bukan sekadar berjualan online, tapi menjadi ruang penting bagi perempuan untuk membangun usaha, sementara masih bisa mengurus keluarga, dan mengakses peluang ekonomi digital. Sudah saatnya mereka didukung dengan sistem yang mendorong mereka untuk berpertisipasi secara formal dalam kegiatan ekonomi, khususnya ekonomi digital," ujar Grace Retnowati, Direktur MSC Southeast Asia.
Sejalan dengan hal tersebut, Deputi Usaha Mikro Kementerian UMKM, Riza Adha Damanik, menegaskan bahwa penguatan kapasitas dan akselerasi skala UMKM merupakan kunci dalam menjaga daya saing nasional. Namun, dukungan tersebut harus tetap selaras dengan karakteristik UMKM yang beragam agar program kebijakan yang dijalankan benar-benar efektif dan berkelanjutan.
Menurutnya, riset ini menjadi krusial di tengah pesatnya pertumbuhan social commerce di Indonesia, yang belum sepenuhnya diimbangi dengan sistem pendukung yang inklusif dan aman.
“Untuk itu, kehadiran social commerce seharusnya mampu memberikan proteksi kepada pengusaha UMKM melalui promosi produk secara gratis di media sosial, serta membuka akses ke pasar yang lebih luas,” ujar Riza.
Sumber: