Sanksi administratif terbagi menjadi sanksi yang ringan, sanksi yang sedang, dan sanksi yang berat.
Sanksi yang kurang berat dapat berupa peringatan tertulis atau permintaan maaf tertulis yang diterbitkan di dalam lingkungan kampus atau di media publik.
Sementara itu, hukuman sedang berupa penundaan sementara dari posisi tanpa hak untuk kembali ke jabatan tersebut, atau jika pelakunya seorang mahasiswa, penangguhan akses ke perkuliahan (skors), pencabutan bantuan keuangan, atau kehilangan hak-hak lainnya.
Sanksi yang keras meliputi pemecatan sebagai pendidik, tenaga kependidikan, atau anggota kampus, serta pemecatan sebagai mahasiswa jika pelakunya adalah mahasiswa.
Meskipun begitu, dalam pasal 16 disebutkan bahwa kepala perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk memberlakukan sanksi administratif yang lebih berat daripada sanksi yang direkomendasikan oleh satuan tugas.
Penerapan sanksi yang lebih berat harus dipertimbangkan dengan memperhatikan kondisi korban yang memiliki disabilitas, akibat kekerasan seksual yang dialami oleh korban, dan apabila pelaku adalah anggota satgas, ketua program studi, atau kepala jurusan.
Di bab 18 juga disebutkan bahwa penerapan sanksi administratif tidak mengesampingkan penerapan sanksi administratif atau pidana lainnya.
Dalam kejadian di Unpar, Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, juga memberikan penghargaan atas tindakan yang dilakukan Satgas. Karena di beberapa perguruan tinggi, unit tugasnya tidak aktif karena tidak mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan.