“OJK tidak boleh hanya pasif. Ini waktunya mereka turun tangan secara nyata, melakukan pemeriksaan menyeluruh dan memberikan sanksi jika ada pelanggaran. Kepercayaan publik tidak akan pulih tanpa adanya tindakan nyata dari regulator,” tegas Srilinus Lino Ketua Umum Pemuda Dayak Kalbar.
Krisis Ini Bukan yang Pertama: Cermin dari Bank Daerah Lain
Kasus Bank Kalbar bukan satu-satunya yang mencoreng wajah bank pembangunan daerah. Sejumlah kasus serupa di berbagai provinsi menunjukkan pola krisis yang serupa, yaitu lemahnya tata kelola dan sistem pengawasan:
- Bank Banten (2020): Mengalami krisis keuangan akibat kredit bermasalah dan intervensi politik. Akhirnya harus direstrukturisasi total oleh OJK.
- Bank Sumut (2023): Tersandung kasus penggelapan dana dan kredit macet senilai lebih dari Rp300 miliar. Pejabat internal ikut terseret ke proses hukum.
- Bank NTB Syariah (2024): Diperiksa OJK atas dugaan penyalahgunaan dana proyek infrastruktur daerah oleh oknum pejabat bank.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tanpa pengawasan ketat dari OJK, profesionalisme, dan integritas manajemen, bank daerah sangat rentan menjadi ladang korupsi dan kerugian publik.
Masyarakat Ingin Bank Kalbar Diselamatkan, Bukan Dibiarkan Runtuh
Meski keras menyuarakan kritik, Pemuda Dayak Kalbar menegaskan bahwa tujuannya bukan untuk menjatuhkan institusi. Mereka ingin Bank Kalbar dibenahi dan diselamatkan, agar kembali menjadi instrumen pembangunan yang berpihak pada rakyat.
“Kami tidak ingin Bank Kalbar runtuh. Tapi justru ingin menyelamatkannya dari kehancuran. Ini bukan hanya soal manajemen bank, tapi juga masa depan ekonomi Kalimantan Barat,” pungkasnya.