Iklan pemberitaan
Rentcar MaC

Bukan Cinta yang Menyiksa, Tapi Harapan yang Memenjarakan: Menyelami Tiga Level Hubungan Manusia

Bukan Cinta yang Menyiksa, Tapi Harapan yang Memenjarakan: Menyelami Tiga Level Hubungan Manusia

Ini adalah cinta yang menjadi mata uang sosial. Kita memberi, tapi diam-diam menghitung. Kita menolong, tapi berharap diingat. Kita berkorban, tapi menunggu imbalan moral: ucapan terima kasih, pengakuan, atau setidaknya balasan emosi yang setara. Saat kontrak batin itu dilanggar, muncul rasa kecewa, sakit hati, bahkan dendam.

Dr. Daniel menyebut fenomena ini sebagai tyranny of the giver—tirani sang pemberi. “Ada orang yang tampak dermawan dan penuh cinta, tapi sebenarnya memberi untuk meneguhkan ego. Ia ingin terlihat mulia, ingin diakui sebagai pihak yang paling berkorban. Itu bukan kasih, itu strategi dominasi halus,” ujarnya.

Fenomena ini sangat relevan di masa kini. Di era media sosial, cinta bersyarat ini mendapat panggung besar. Banyak pasangan yang menilai cinta dari seberapa sering pasangannya mengunggah foto bersama, memberi komentar manis, atau menuliskan kata “I love you” di ruang publik digital. Hubungan menjadi ajang curated affection, bukan koneksi batin.

Seperti yang dijelaskan Dr. Daniel, “Kita hidup di masa ketika cinta diukur dengan algoritma, bukan kedalaman jiwa. Harapan sosial ini membuat banyak orang menderita, karena mereka mengira cinta adalah tentang validasi eksternal.”

Level 3: Kasih – Kebahagiaan yang Tidak Memerlukan Balasan

Tingkat tertinggi dari hubungan manusia adalah Kasih—sebuah keadaan batin yang penuh dan mandiri.

“Kasih sejati tidak bisa menyakiti,” tegas Dr. Daniel. “Karena ia tidak menuntut apa pun.” Dalam Kasih, seseorang mencintai bukan karena kebutuhan, tapi karena kebahagiaan memberi itu sendiri. Ia menjadi The Unconditional Giver.

Cinta di tingkat ini bukanlah tindakan, melainkan kualitas keberadaan. “Bayangkan ketika Anda memeluk bayi Anda,” ujarnya. “Anda membersihkan kotorannya bukan karena kewajiban, tapi karena itu bagian dari kasih. Anda bahagia bukan karena bayi membalas, tapi karena kehadirannya sendiri sudah cukup.”

Inilah bentuk tertinggi dari hubungan manusia—keadaan di mana memberi adalah kebahagiaan, bukan pengorbanan.

Dalam konteks psikologi transpersonal, tahap Kasih ini paralel dengan konsep self-transcendence atau melampaui ego. Teori ini dikembangkan oleh Abraham Maslow dalam fase akhir piramida kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar dan aktualisasi diri terpenuhi, manusia akan mencari pengalaman puncak (peak experience): keadaan kesatuan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Dr. Daniel menyebutnya sebagai momen ketika “diri berhenti menjadi pusat semesta.” Inilah titik di mana cinta berhenti menjadi emosi dan berubah menjadi kesadaran.

Mengurai Akar Penderitaan: Ekspektasi dan Harapan yang Tak Disadari

Jika cinta sejati tidak bisa menyakiti, mengapa begitu banyak hubungan berakhir dengan air mata?

Jawaban Dr. Daniel sederhana: karena kita mencintai dengan syarat. Kita menciptakan kontrak sosial tak tertulis yang berisi daftar harapan: perhatian, kesetiaan, komunikasi, dan sebagainya. Semua itu tampak masuk akal—sampai salah satunya gagal memenuhinya.

“Ketika pasangan tidak lagi mengirim pesan setiap pagi, atau tidak merespons dengan cepat, kita merasa kehilangan cinta. Padahal yang hilang bukan cinta, tapi ekspektasi terhadap bentuk cinta,” jelasnya.

Sumber: