Iklan pemberitaan
Rentcar MaC

Tingkatkan Kesadaran Publik, KEHATI Rilis Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia

Tingkatkan Kesadaran Publik, KEHATI Rilis Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia

--

Jakarta, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) meluncurkan Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia, Selasa (16/09/2025).  Buku Putih Advokasi ini berisi refleksi gerakan advokasi masyarakat sipil Indonesia di isu lingkungan hidup sekaligus refleksi perjalanan Panjang advokasi KEHATI bersama elemen masyarakat sipil lain dan para mitranya dalam memperjuangkan kebijakan yang adil dan lestari.

Buku berjudul “Melawan Ketidakseimbangan: Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia” ini ditulis oleh Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan KEHATI.

Dalam buku ini terekam pelajaran berharga, tentang strategi, kegigihan, kisah perjuangan, kolaborasi, keberhasilan, kegagalan, serta asa yang terus menyala demi memperjuangkan kelestarian alam dan menjaga bumi bagi generasi mendatang.

Lebih dari sekadar buku, karya ini juga menjadi salah satu medium dalam mendorong kesadaran publik agar terlibat dan berjuang bersama demi membela keanekaragaman hayati.

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos mengatakan buku ini menyingkap kenyataan pahit yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Dalam 50 tahun terakhir, gas rumah kaca membanjiri atmosfer, memicu perubahan iklim ekstrem, bencana alam kerap terjadi, dan ekosistem yang menopang kehidupan mulai tergerus.

“Di balik kemajuan ekonomi, ada jejak pemanfaatan alam yang eksploitatif dan berlebihan, dan kita semua menjadi penggerak utamanya. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tak luput dari jejak eksploitatif tersebut,” Riki, dalam siaran persnya, 16 September 2025.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada Mei 2023 mengungkapkan suhu rata-rata global pada 2011-2020 adalah 1,1 derajat celcius lebih tinggi dari periode pra-industri. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer juga melampaui 400 ppm (parts per million), melebihi ambang batas aman 350 ppm. Dalam dua dekade terakhir, kenaikan rata-rata suhu di Indonesia 0,9 derajat celcius, di atas rata-rata global.

“Selain kian mengancam keanekaragaman hayati Indonesia, tingginya laju perubahan iklim ini juga semakin memperparah kerentanan sosio-ekonomi dan menimbulkan tantangan bagi mata pencaharian yang penting,” kata Riki.

Selama dua dekade terakhir, peristiwa hidrometeorologi juga menyumbang lebih dari 75% bencana di Indonesia dan 60% kerusakan ekonomi. Pada tahun-tahun mendatang, tren ini diperkirakan akan semakin meningkat.

The World Bank, 2021, menganalisis Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut, dengan peringkat kelima tertinggi di dunia dalam hal jumlah penduduk yang tinggal di pesisir dengan elevasi lebih rendah. Tanpa adaptasi, total penduduk yang terancam terpapar banjir permanen bisa mencapai 4,2 juta jiwa lebih pada 2.070–2.100.

World Bank juga memperkirakan 95% wilayah pesisir Jakarta berpotensi tenggelam pada 2050. Indonesia juga sering mengalami bencana alam, dengan total 3.622 bencana pada 2019.

Dalam 40 tahun terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 33 juta hektare hutan, atau hampir 30% dari total kawasan hutan seluas 125 juta hektare. Hutan primer yang tersisa hanya 47,2 juta hektar. Deforestasi tersebut sebagian besar disebabkan oleh konversi lahan untuk ekspansi perkebunan sawit, hutan tanaman industri, tambang, dan pembangunan infrastruktur lain.

Dalam kesempatan itu,  penulis buku ini, Muhamad Burhanudin, mengatakan kerusakan alam saat ini bukan semata akibat kelalaian, tapi juga berakar pada desain politik pembangunan yang menempatkan ekologi sebagai korban.

Regulasi seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, pun melemahkan perlindungan lingkungan demi kepentingan investasi jangka pendek.

Sumber: