Charlies Angel Berlanjut: UU TPKS disertakan, Pelaku Bisa Sampai 15 Tahun di Jeruji Besi!

penganiaya--
PONTIANAKINFO.COM,PONTIANAK - Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Kalimantan Barat, melalui Satuan Reserse Kriminal Polresta Pontianak, sebelumnya telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana kekerasan terhadap korban perempuan berinisial NN. Penetapan status tersangka tersebut tertuang dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang diterima pihak korban melalui Penasihat Hukumnya yaitu Lembaga Bantuan Hukum Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI) pada pekan ini.
Dalam dokumen SP2HP yang disampaikan kepada korban, dijelaskan bahwa penyidik telah melakukan rangkaian pemeriksaan saksi, pendalaman alat bukti, serta menetapkan tiga orang dengan inisial PT, AF, dan SQ sebagai tersangka. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP tentang Pengeroyokan, Pasal 351 dan 406 KUHP tentang Perusakan Barang, serta ketentuan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu, penyidik juga menerapkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai payung hukum yang lebih progresif.
Koordinator Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak LBH Kapuas Raya Indonesia (LBH KRI), Maria Putri Anggraini Saragi, S.H., yang saat ini mendampingi korban, menyampaikan apresiasi terhadap langkah Polresta Pontianak.
“Kami memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas respons dan kerja cepat Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, khususnya Polresta Pontianak, yang sudah berkomitmen menggunakan kerangka UU TPKS. Ini menjadi bukti nyata bahwa penanganan perkara berbasis gender harus menempatkan perspektif korban sebagai pusat,” kata Maria, Senin (07/7/2025).
Maria juga menegaskan bahwa penetapan tersangka dan pemrosesan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang tentang TPKS merupakan langkah penting untuk menjamin perlindungan korban secara holistik.
“Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya tindakan fisik, tetapi juga bentuk pelanggaran hak asasi manusia khususnya mengenai hak tubuh perempuan yang serius. Instrumen TPKS memberi kerangka hukum acara yang lebih komprehensif, termasuk hak atas pemulihan, perlindungan saksi, hingga pendampingan psikologis,” terangnya.
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Sebagai Lex Specialis
Dari perspektif hukum acara pidana, penerapan Undang-Undang tentang TPKS dalam perkara ini memperlihatkan pemahaman penegak hukum terhadap prinsip lex specialis derogat legi generali.
Artinya, UU tentang TPKS sebagai undang-undang khusus mengesampingkan KUHP sejauh terdapat ketentuan yang lebih khusus. Dalam hal ini, tindakan kekerasan disertai unsur pelecehan seksual yang disebarluaskan melalui media sosial tidak hanya diproses sebagai pengeroyokan (penganiayaan) atau perbuatan tidak menyenangkan, melainkan diperlakukan sebagai tindak pidana kekerasan seksual yang memiliki dimensi khusus, sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) UU tentang TPKS.
“Landasan yuridisnya jelas, Pasal 14 UU TPKS memberi ruang bagi korban untuk memperoleh perlindungan maksimal, dalam konteks perkara yang saat ini sedang berjalan, hal ini menegaskan peran aparat penegak hukum dalam memfasilitasi penanganan korban, termasuk hak atas perlindungan dari intimidasi, tekanan, maupun upaya paksa perdamaian,” ujar Maria.
BACA JUGA:Penganiayaan dan Penyebaran Konten Asusila oleh Tiga Remaja Pontianak, SSK Desak Gunakan UU TPKS
Sumber: