PONTIANAKINFO.COM, SAMBAS – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di area kebun sawit milik PT WHS Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat kembali menyita perhatian publik. Salah satu tokoh yang diduga menjadi dalang dalam konflik ini adalah seorang pengusaha berinisial MRN. Ia dilaporkan melibatkan oknum aparat berseragam untuk mengusir penambang lokal secara paksa.
Peristiwa ini mencuat setelah sejumlah penambang lokal mengaku diintimidasi bahkan mengalami kekerasan fisik.
“Kami diusir oleh aparat menggunakan senjata api yang dikokang dengan alasan razia. Ada anak buah kami yang ditangkap dan dianiaya. Tapi setelah kami pergi, ternyata MRN yang menduduki lokasi tersebut. Artinya, itu cuma akal-akalan MRN untuk menguasai daerah itu dengan menggunakan oknum aparat,” ungkap Kardi (bukan nama sebenarnya), dikutip dari Faktakalbar.
BACA JUGA:Kronologi Kejadian Tragis di Sambas: Seorang Ayah Tewas Dibunuh Anak Kandung
Pengusaha MRN diduga merupakan bagian dari jaringan perdagangan emas ilegal baru yang berada di bawah kendali seorang cukong besar yang dikenal dengan sebutan “tante”. Sosok ini disebut memiliki pengaruh kuat serta koneksi luas dengan aparat keamanan, tidak hanya di Kalimantan Barat, tetapi juga di tingkat pusat.
MRN juga kerap mengklaim bahwa aktivitasnya dilindungi oleh pejabat tinggi.
“Ngapain jenderal-jenderal bekingi kegiatan ilegal begini? Tahu kah jenderal-jenderal itu bahwa MRN selalu menjual namanya? Nanti bikin jelek nama instansi, akhirnya bermasalah ketika pemerintah pusat mengetahui,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
BACA JUGA:Kericuhan di Jembatan Sungai Sambas Besar, Seorang Pemuda Tewas
Kalimantan Barat memang dikenal sebagai salah satu wilayah penghasil emas terbesar di Indonesia. Namun, maraknya aktivitas PETI telah menimbulkan berbagai masalah serius, mulai dari kerusakan lingkungan hingga konflik antar-kelompok. Dugaan keterlibatan oknum aparat dalam sengketa lahan tambang ilegal ini pun semakin memperkuat kekhawatiran publik terhadap praktik mafia tambang yang merajalela.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak aparat maupun perusahaan terkait.