Pembacaan Putusan Perkara Charlie’s Angles, LBH KRI Soroti Tuntutan JPU yang Dinilai Belum Cerminkan Keadilan

Jumat 14-11-2025,01:17 WIB
Reporter : Tim Redaksi
Editor : Tim Redaksi

Dalam tuntutan (Perkara 610) JPU mendakwakan Pasal 14 ayat (1) huruf a (“tanpa hak melakukan perekaman... bermuatan seksual”) Jo Pasal 15 ayat (1) huruf e (“dilakukan dengan tujuan... kekerasan”). Ini adalah inti dari Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).

Menyamakan tuntutan delik khusus ini dengan delik umum penganiayaan (Pasal 351 KUHP) adalah sebuah kesesatan pikir dalam penegakan hukum. Tuntutan ini mengirimkan pesan berbahaya kepada publik bahwa kejahatan kekerasan seksual berbasis elektronik memiliki bobot yang sama ringannya dengan penganiayaan biasa. Tuntutan ini mengabaikan dampak psikologis, trauma, dan stigma jangka panjang yang diderita korban kekerasan seksual, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam UU TPKS.

3. Kontradiksi Internal Tuntutan JPU (Pidana Badan vs. Restitusi)

Secara spesifik pada Perkara 610, tuntutan JPU mengandung kontradiksi internal yang fundamental.

JPU menuntut Terdakwa S.Q.. untuk membayar restitusi (ganti rugi korban) sebesar Rp 16.660.000,-. (enam belas juta enam ratus enam puluh ribu rupiah);

JPU menetapkan bahwa jika restitusi tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara (subsider) selama 6 (enam) bulan.

Di sisi lain, JPU menuntut pidana pokok (hukuman badan atas kejahatannya) hanya 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan (total 18 bulan).

Logikanya, JPU menilai kerugian korban (restitusi) setara dengan 6 bulan penjara. Namun, untuk keseluruhan pidana pokok (gabungan delik Pasal 351 KUHP dan Pasal 14 UU TPKS), JPU hanya menuntut 18 bulan. Artinya, hukuman atas kejahatan yang sangat serius ini hanya dinilai tiga kali lipat dari nilai subsider ganti ruginya. Ini menunjukkan ketidakseimbangan dan proporsionalitas yang mengkhawatirkan dalam merumuskan tuntutan yang berkeadilan.

Mendorong Putusan Hakim yang Progresif

Menyikapi temuan di atas, Tim Penasihat Hukum dari LBH Kapuas Raya Indonesia, Maria Putri Anggraini Saragi, S.H., yang akrab dipanggil Putri Saragi berharap Putusan Majelis Hakim masing-masing perkara tersebut dapat menjadi antitesis dan koreksi atas tuntutan JPU yang keliru secara filosofis dan yuridis.

“Kami berharap Majelis Hakim tidak ragu untuk menjatuhkan putusan yang lebih berat dari tuntutan, demi menegakkan keadilan substansial,” tegas Putri Saragi.

Tim Penasihat Hukum mendasarkan harapan tersebut pada rasio legis (argumentasi hukum) berikut, yang diharapkan menjadi pertimbangan Majelis Hakim:

Kebebasan Hakim dan Kekuatan Fakta Persidangan

Tim LBH KRI mengingatkan bahwa Majelis Hakim memiliki kebebasan penuh dan tidak terikat oleh tuntutan (requisitoir) JPU. Tuntutan JPU hanyalah sebuah saran penghukuman yang dalam kasus ini terbukti memiliki kelemahan analisis. Hakim wajib memutus berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan (keterangan saksi, alat bukti) dan keyakinan hakim (conviction intime), bukan berdasarkan tuntutan yang secara nyata mengabaikan gradasi kejahatan.

Kewajiban Menerapkan Lex Specialis (UU TPKS) secara Penuh

Khusus untuk Perkara 610, LBH KRI mendesak Majelis Hakim untuk menjadi representasi negara dalam menerapkan UU TPKS secara murni dan konsekuen. Putusan hakim harus mencerminkan rasio legis UU TPKS, yaitu memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban. Ini termasuk tidak hanya mengabulkan restitusi, tetapi juga menjatuhkan pidana badan yang dapat memberikan efek jera (deterrence effect) yang nyata. Putusan ringan dalam kasus kekerasan seksual akan menjadi preseden buruk dan mencederai komitmen publik.

Mempertimbangkan Faktor Pemberat yang Diabaikan JPU

LBH KRI berharap Majelis Hakim secara cermat mempertimbangkan dakwaan Pasal 480 KUHP (Perkara 611) dan Pasal 14 UU TPKS (Perkara 610) sebagai faktor pemberat yang signifikan. Kegagalan JPU dalam membedakan bobot kejahatan ini harus dikoreksi oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya (consıderans).

“Kami berharap putusan akhir tidak hanya fokus pada penghukuman pelaku (retributif), tetapi juga pada pemulihan korban (restoratif). Kami berharap Majelis Hakim mengabulkan tuntutan restitusi pada Perkara 610, dan memutus pidana badan yang setimpal pada ketiga perkara, yang mencerminkan keseriusan negara dalam menangani kasus kekerasan,” tutup Putri Saragi.

Kategori :