“Jangan sampai proses penegakan hukum justru memperdalam trauma korban. Segala bentuk tekanan agar korban mencabut laporan atau berdamai di luar hukum adalah bentuk reviktimisasi yang dilarang oleh Undang-Undang TPKS,” tambah Maria.
Tantangan Implementasi dan Kebutuhan Dukungan Lintas Sektor
Di sisi lain, Maria mengingatkan bahwa implementasi UU TPKS di lapangan masih dihadapkan pada tantangan berupa keterbatasan pemahaman aparat di tingkat teknis, mekanisme perlindungan saksi dan korban yang seringkali tidak optimal, serta celah digital yang memungkinkan pelaku melakukan intimidasi berulang.
“Dalam praktiknya, banyak korban yang akhirnya menarik laporan karena tekanan sosial, stigma, dan ketidakmampuan negara memberikan perlindungan maksimal. SP2HP dalam kasus ini harus menjadi pijakan agar korban tidak berdiri sendiri. Negara wajib hadir melalui kerja sama lintas sektor dengan UPTD PPA, LPSK, hingga masyarakat sipil,” ungkapnya.
Maria juga menekankan pentingnya keberadaan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) sebagai wujud prinsip due process of law. SP2HP menjamin hak korban dan pelapor untuk memperoleh informasi yang jelas, berkala, dan transparan mengenai tahapan proses penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (5) Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
BACA JUGA:Syamsul Jahidin Sebut Kasus Charlies Angel Kejahatan Luar Biasa: Penyidik Tak Layak Beri Penangguhan
Maria juga menegaskan bahwa, LBH Kapuas Raya Indonesia akan terus mengawal proses hukum ini secara intensif demi memastikan keadilan substantif terwujud bagi korban.
“Kami berharap perkara ini dapat menjadi preseden positif bagi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Kalimantan Barat. Hukum pidana bukan hanya soal sanksi, melainkan juga soal pemulihan harkat, martabat, dan rasa aman korban,” ujarnya.